Jauh sebelum penyihir putih menjadi
patung lilin, ia berkuasa di Narnia bagian Utara. Tak ada yang mengetahuinya
karena dia masih menguasai sedikit sihir. Suatu hari, saat Sang penyihir putih
mencari ikan di sungai Shribble untuk makan siang, ia menemukan tongkat.
Tongkat itu bukan tongkat biasa, tapi tongkat sihir, penyihir putih mencoba
semua mantra yang dipelajarinya dari rune kuno yang ditemukannya di reruntuhan
tepatnya di hutan Owlwood. Saat sedang asyik bermain dengan tongkat sihirnya di
tepi sungai, seekor Kuda melihatnya. “kau itu sejenis apa?” Tanya orang asing yang ia punggungi.
Penyihir Putih :
“Kyaa..” penyihir itu teriak ala perempuan berusia 17tahun dengan ketakutan karena
melihat Kuda yang bisa bicara.
Kuda : “siapa kau?” kuda
itu penasaran tak pernah melihat makhluk seperti itu.
Penyihir Putih : “Na..na..namaku
Jadis” penyihir putih itu ketakutan
hingga mengeluarkan keringat di sekujur tubuhnya.
Kuda itu mendekat hingga jaraknya hanya -+5meter. Tanpa sadar, dengan reflek penyihir itu menyodorkan tongkatnya dan mengatakan mantra yang bahkan ia lupa apa arti mantra itu. Tak lama setelah itu, kuda itu berubah menjadi patung lilin berukuran kecil. Sang penyihir syok melihat kuda itu berdiri kaku tanpa ekspresi. Tapi, sekarang penyihir itu sadar akan kemampuan sihirnya. Itulah awal kekuasaan penyihir putih, hewan- hewan yang jumlahnya sedikit tak berani melawan penyihir putih itu. Hingga mereka menjadi budak penyihir putih.
Kuda itu mendekat hingga jaraknya hanya -+5meter. Tanpa sadar, dengan reflek penyihir itu menyodorkan tongkatnya dan mengatakan mantra yang bahkan ia lupa apa arti mantra itu. Tak lama setelah itu, kuda itu berubah menjadi patung lilin berukuran kecil. Sang penyihir syok melihat kuda itu berdiri kaku tanpa ekspresi. Tapi, sekarang penyihir itu sadar akan kemampuan sihirnya. Itulah awal kekuasaan penyihir putih, hewan- hewan yang jumlahnya sedikit tak berani melawan penyihir putih itu. Hingga mereka menjadi budak penyihir putih.
Bertahun-
tahun kemudian sejak kejadian itu, seorang remaja berusia 19 tahun yang
terbangun dari tidurnya bernama Diggory Kirke membuka matanya terbelalak
melihat seorang gadis cantik, yang tak lain adalah Polly Plummer . Polly
menjadi sahabatnya sejak mereka masuk ke Narnia akibat cincin Paman Andrew di
cerita lain.
Diggory : “apa yang
kau lakukan pagi- pagi di kamarku?” Tanya Diggory mengerjapkan mata sambil
memakai kacamatanya.
Polly : “look at this”
kata Polly, senyumnya lebar dan dia menunjukkan sesuatu yang ia pegang pada
Diggory.
Diggory : “kuda? Kau
bermain dengan mainan ini?” Tanya Diggory sambil meraih mainan berbentuk kuda
yang seukuran setengah telapak tangannya.
Polly : “tebak dari
mana aku mendapatkannya” kata Polly sambil meringis.
Diggory : “toko
mainan?”
Polly : “aku mendapatkannya
dari Narnia” katanya dengan senyum nakal.
Diggory : “apa? Kau
mencuri?”
Polly : “tidak, seekor
berang- berang memasukkannya dalam tasku, aku lupa dan baru menyadarinya ketika
sedang beres- beres barang di gudang kemarin”, Ia meringis membuat pipi Diggory
memerah.
Beberapa tahun telah berlalu, Diggory
sekarang adalah seorang pria dewasa dan seorang professor sekaligus pemilik
rumah tua Ketterly, peninggalan orang tuanya. Polly telah pindah bersama
keluarganya, ia memberikan mainan kudanya pada Diggory sebagai kenang- kenangan.
Pada
suatu hari, Diggory mendapat berita bahwa terjadi perang di London, maka dari
itu kerabatnya memintanya untuk mengasuh keempat anak mereka. Merekalah 4
Pevensie bersaudara, bernama Peter, Susan, Edmund dan Lucy. Mereka senang tinggal
di rumah Diggory karena rumahnya luas, sehingga mereka bisa bermain petak
umpet.
Di suatu
malam, Susan dan Lucy sedang asyik bermain scrabble, sedang Peter dan Edmund
bermain catur bersama.
Peter : “Ed, ayo main
catur” ajak Peter.
Edmund : “tidak ahh malas”
Peter : “bilang saja
kau takut kalah, kau belum pernah menang” kata Peter menyindir. Akhirnya Edmund
mengalah karena memang benar ia tak pernah menang. Edmund mendengus dan menata
catur.
Edmund : “tunggu”
Peter : “apa? Jangan
ber-alasan, kau takut kalah lagi” dengan nada enteng.
Edmund “bidaknya
kurang satu. Kuda!!” Edmund tak terima perlakuan abangnya. Peter-pun mencarinya
dipenjuru ruangan tengah, tapi tak ada.
Peter : “jangan diam
saja” katanya pada Edmund.
Edmund : “akan kucari
di ruangan Prof. Diggory, kemarin ia menyita catur ini gara- gara kita
menjatuhkannya dengan kasar” kata Edmund sambil berdiri dan beranjak pergi.
Prof. Diggory sedang asyik membaca
buku di ruangannya. ‘Tok.. tok.. ‘ Edmund mengetuk pintu dengan ragu.
Edmund : “boleh aku
masuk?”
Diggory : “silahkan
Ed” Edmund membuka pintu.
Diggory : “ada apa?”
tanyanya.
Edmund : “well, kami
kehilangan bidak kuda, apakah anda menemukannya?” Tanya Edmund.
Diggory : “tidak, kau pikir
aku masih main catur” kata Diggory merasa terganggu.
Edmund : “maaf
mengganggu, aku permisi” kata Edmund merasa mengganggu.
Diggory : “tunggu!!”
Edmund : “ya?” Diggory
mengambil hiasan kuda pemberian Polly dari laci mejanya.
Diggory : “ini,
mungkin kau bisa menggunakannya” Edmund menghampirinya dan mengambil kuda itu.
Edmund : “thanks”
Diggory : “jaga itu
baik- baik!!”
Edmund : “baik” Edmund
segera pergi dan bermain catur dengan Peter. Hiasan kuda itu tidak seperti saat
Polly memberikannya berwarna abu- abu lilin. Diggory telah mengecatnya dengan
warna emas. Untuk pertama kalinya, catur itu dimenangkan Edmund, Peter menduga
adiknya curang, tapi ia melupakannya. Edmund merasa ia beruntung, ia menyimpan
bidak kuda dalam sakunya. Meski tak percaya hal- hal mistis ia tetap membawanya
kemana- mana.
Suatu
hari, Diggory mencari keempat anak tersebut yang sedang bersembunyi, ia
menghitung 1-100 sambil membawa sebuah bola kecil dalam genggamannya dan
sampailah ia didepan kamar yang tak dipakai, disana terdapat sebuah lemari
besar yang dibuatnya sendiri. Diggory membuka pintu ruangan pada hitungan ke-98
dan terkejut melihat Pevensie bersaudara jatuh bersamaan keluar dari lemari
itu.
Diggory : “apa yang
sedang kalian lakukan di dalam lemari?” tanyanya dengan alis menekuk heran.
Peter : “kau tak akan
percaya jika kami cerita padamu” jawab Peter sambil mendongak ke Diggory dalam
posisi masih saling menindih dengan saudara- saudaranya. Bola dalam genggaman
Diggory jatuh menggelinding ke arah mereka. Ia semakin mengernyit melihat
mereka.
Diggory : “cobalah!”
Diggory mengingat kata- kata Peter dan Susan saat Lucy mengatakan melihat hutan
dalam lemari. Kemudia ia berkata “aku tak yakin kalian bisa kembali melalui
cara yang sama, asal kau tau, aku telah mencobanya” kata Diggory.
Lucy : “akankah kami bisa
kembali?” Tanya Lucy dengan nada ingin kembali mencobanya suatu saat.
Diggory : “oh, ada
pengecualian, tapi itu mungkin akan terjadi ketika kau tak sedang mencarinya.
Hanya tetap jaga pandanganmu” kata Diggory sambil berlalu pergi. 4Pevensie
saling bergantian menatap satu sama lain dengan wajah penasaran.
Keesokan harinya, Edmund berpapasan
dengan Diggory dilorong rumah.
Diggory : “Ed” sapanya
Edmund : “ya?” jawab
Edmund mendongakkan kepala menatap Diggory.
Diggory : “kau masih
menyimpan kuda itukan?” tanyanya.
Edmund : “ten.. tentu”
jawab Edmund ragu. Saat itulah Edmund baru menyadari bahwa hiasan kudanya tak
ada dalam kantong celananya. Ia mencari di semua tempat tapi tak menemukannya.
By : Nuriyanni’s Narnia Fanfict August 18, 2011 ^^