Sabtu, 23 September 2017

Job Hunter 2


21 September 2017 aku bangun pagi dan men-charge HP-ku tanpa membuka apakah ada pesan baru atau tidak. Semalam aku tidur tanpa mengisi dayanya lagi. Beberapa jam kemudian aku baru membuka HP, ada beberapa pesan masuk, salah satunya dari Edi, aku pun membukanya. Edi mengatakan bahwa ia akan mengikuti walk interview lagi hari ini. Ya, walk interview yang kami datangi di Kediri tempo hari, membuka rekrutmen kembali, sebenarnya dia berniat tidak ikut, malah aku yang masih tertarik untuk ikut, tapi malamnya bahkan aku tidak menyiapkan apapun. ‘Kenapa dia mengirim pesan terlalu malam semalam?! pasti sekarang dia sudah ada disana’ batinku, agak kesal karena baru membuka pesan masuk, sembari melihat jam dinding menunjukkan pukul 7.30 WIB.
Aku memutuskan untuk ikut kembali, kusiapkan berkas secepat yang kubisa (bad habit) haha. Pukul 8.30 aku berangkat menuju Rumah Sakit yang hanya berjarak sekitar 6 km dari rumah. Aku menyalakan mesin sepeda motor, aku yakin pasti sudah ada ratusan anak yang datang meramaikan event tersebut. Benar saja, sesampainya di lokasi aku melihat antrian panjang memenuhi parkiran kendaraan, parkiran motor pun tampak penuh. Aku mencari sumber pengambilan antrian, dari tempatku berdiri kudapati beberapa orang yang kukenal, Edi dan beberapa teman satu kampus sudah berdiri disana.
“Edi!” sapaku.
“He, nomor berapa?” Pertanyaan yang sama saat pertama melihatku di IIK.
“Aku baru datang, baru baca pesanmu. Dimana ambil antriannya?” tanyaku, memasang wajah polos.
“Baru datang?!” *lebay -__- “besok aja sekalian! Disana tuh, itu pun kalau yang jaga masih ada.” Jawabnya. Beberapa teman lain juga menertawakanku karena keterlambatanku. Bodoamat.
365! Masih pukul 08.45 WIB dan itulah angka antrianku. Sudah kuduga disini peminatnya akan membludak, ditambah event ini hanya dilakukan satu hari saja.
“Dapat nomor berapa?” Tanya Edi.
“Nggak usah nanya.”
Aku sempat mengajak seorang teman, tapi tampaknya ia tak bisa ikut serta. Akhirnya lagi-lagi aku berkumpul dengan Edi dan teman-teman lainnya, mereka semua laki-laki dan sibuk mengobrol, aku hanya mendengar dari dekat. Tak kemudian mereka masuk satu persatu, nomor antrian mereka sekitar angka 100 an, pemanggilannya bisa per 10 sampai 20 orang. Pukul 10.30 WIB, aku yakin teman-temanku telah selesai dan pulang ke kos.
Hari itu cuaca terik, cukup membuat kami terasa meleleh dibawah sinar matahari karena tenda yang kurang lebar. Sekitar pukul 12.00 WIB aku memutuskan singgah ke tempat kos mereka (teman-teman cowok yang datang bersama Edi) lumayan aku bisa tanya kisi-kisi tes tulis pada mereka hehe (padahal ga ngaruh-ngaruh amat). Sebelumnya aku minta nomor HP perempuan disebelahku yang nomor antriannya 340, jadi jika nomornya sudah dekat, aku bisa langsung kembali (ajarannya Edi di IIK kemarin ^^).
Sesampainya di kos, aku menanyakan proses tes yang tadi mereka ikuti, kemudian melebar ke lowongan-lowongan kerja yang menarik. Pukul 13.00 aku mendapat pesan yang berisi bahwa nomorku sudah dekat, akhirnya aku segera kembali. FYI, lokasi Rumah Sakit ini tak jauh dari kampus, jalan kaki saja sudah sampai, makanya kos teman-teman bisa kutempuh beberapa menit saja.
Sesampainya di lokasi, tak lama menunggu nomorku pun terpanggil. Tak jauh berbeda dari alur tes di IIK kemarin, tes tulis dan interview beberapa menit saja selesai dan aku segera kembali pulang.

Aku tau usahaku tak begitu maksimal, apalagi dengan persiapan yang mepet. Tapi aku percaya bahwa jika aku tak melakukannya, maka aku hanya akan menyesal. Bagaimanapun hasilnya nanti, aku percaya bahwa Allah adalah sutradara terbaik. Aku sadar perjuanganku tak seberat teman-teman lain yang datang dari luar kota, yang mungkin sudah memiliki pengalaman kerja, dan sangat menginginkan pekerjaan. Melihat wajah-wajah itu, kami sangat sadar bahwa hidup ini tidak akan pernah menjadi lebih mudah, tetapi kita sebagai manusia yang seharusnya terus-menerus berusaha lebih baik. Lulus dari perkuliahan bukanlah akhir, melainkan awal dari kehidupan sebenarnya, bahkan setelah melewati banyak tahap, kita tak bisa berhenti di satu tempat, atau bisa disebut zona nyaman. Karena zaman akan semakin maju, jika kita diam di tempat dan tak mau tau dengan perkembangan jaman, maka kita sendiri yang akan tergerus, tertinggal dari yang lain. 

Warna Warni CPNS


Kamis 14 September 2017, tepatnya pukul 2 dini hari, aku dan Ibuku telah bangun. Kami hendak bersiap menuju Surabaya menggunakan transportasi Travel. Beberapa minggu yang lalu, aku mendaftar CPNS Kemenkumham 2017 atas saran orangtuaku. Sebenarnya aku tidak terlalu berminat, tapi mereka mengatakan bahwa aku perlu mengikutinya agar tau rasanya ujian CPNS, soal- soalnya dan lainnya. Aku bersih keras untuk berangkat sendiri, tapi Bapak memintaku untuk berangkat berdua dengan Ibu agar aku ada teman.
Pukul 03.30 WIB travel baru tiba, kami segera naik dan berangkat menuju Surabaya. Penumpang travel terdiri dari aku, Ibuku, seorang anak laki-laki, seorang anak perempuan bersama Ibunya dan Pak supir. Siapa sangka kami semua memiliki tujuan yang sama, Poltekes Pelayaran Surabaya, yang berarti kami bertiga adalah sama-sama peserta CPNS.
Sekitar pukul 05.30 WIB kami sampai di tujuan, aku langsung menanyakan dimana mushola karena belum shalat shubuh (tidak untuk ditiru). Sekalian saja aku ganti baju dan siap-siap untuk mengikuti ujian, yups aku mendapat sesi pertama ujian hari itu. Lingkungan kampus sudah sangat ramai, dipenuhi orang-orang berbaju putih hitam termasuk aku. Aku selesai, menunggu Ibu yang lama sekali beres-beres barang yang dibawanya, belum lagi beliau belum cuci muka dan lainnya padahal antrian kamar mandi sudah sangat panjang, aku pun memutuskan untuk pergi duluan untuk mencari lokasi ujian.
Lokasi ujian diadakan di sebuah aula besar, tapi sebelumnya kami harus menunggu di tenda karantina lapangan kampus yang cukup luas. Tenda dibagi dua bagian, pertama untuk lulusan SMA dan D3, kedua untuk lulusan Sarjana. Aku mencari-cari antrian Sarjana, tampak wajah-wajah bingung yang hendak masuk ujian, sedikit pilu karena banyaknya peminat CPNS, terbukti Indonesia agaknya butuh lapangan kerja yang banyak. Bagaimana tidak, ujian wilayah Jawa Timur diadakan selama 5 hari di Surabaya, satu hari ada sekitar 3000 peserta, dibagi menjadi 5 sesi, jadi 1 sesi ada hampir 600 peserta, faktanya Kemenkumham menyediakan 1000 formasi saja untuk seluruh Indonesia. Pagi itu tampak padat, aku baru tau bahwa teman-teman sesi berikutnya sudah memenuhi kampus.
“Permisi Mbak, ini antrian Sarjana?” Tanyaku pada salah seorang perempuan yang sedang mengantri didepan gerbang masuk lapangan.
“Iya Mbak” jawabnya. Aku sedikit cemas karena mereka semua tidak ada yang membawa barang.
“Tasnya disimpan diamana?”
“Di gedung sebelah sana Mbak.” Aku agak kesal, takut tertinggal karena tadi menunggu Ibu yang cukup lama.
“Bawa apa aja?”
“Kartu peserta, foto sama KTP aja”
Aku segera mengambil KTP, foto dan lembaran yang sebelumnya telah kucetak. Kemudian mencari Ibu untuk menyimpan tas karena aku tidak sempat mencari gedung penitipan tas. Tak berapa lama, aku kembali ke antrian, menanyakan nomor pendaftaran di tempat sekretariat lalu gabung dalam antrian. Aku melirik lembaran yang dibawa teman-teman disekitarku. Seketika aku syok, lembaran yang mereka bawa sama sekali berbeda berbeda dengan yang kubawa. Aku mulai panik dan pergi ke pusat informasi, menanyakan apakah aku bisa ikut ujian dengan lembaran yang ternyata kartu pendaftaran, padahal yang kucetak harusnya kartu peserta. Aku mendapat berita yang mengecewakan, bahwa aku tidak bisa ikut ujian dengan lembaran tersebut. Aku mulai lemas, mengumpat pada diri sendiri kenapa melakukan kecerobohan semacam itu. Aku sibuk mencari Ibu, HP ada di tas yang kutitip pada Ibu, aku berjalan di sepanjang jalan yang dipenuhi keluarga peserta tapi tak juga menemukannya, sempat aku berpikir jika tak bisa ikut ujian berarti perjalanan ini sia-sia. Tak lama kemudian aku menemukan Ibu dan mengatakan bahwa lembaran yang kucetak salah, tentu saja Ibuku juga ikut panik -_-. Kemudian kami bertanya pada siswa kampus dimana tempat percetakan. Aku meminta tasku pada Ibu dan berkata padanya bahwa aku akan berangkat sendiri menuju tempat percetakan di belakang kampus.
Aku berjalan cepat, melewati kerumunan peserta yang sudah mengurai panjang untuk ujian. Aku bertanya pada salah seorang petugas kebersihan, baru menemukan tempat percetakan. Jantungku berdetak cepat, pasti wajahku tampak mengerikan di hadapan penjaga mesin percetakan. Bodo amat lah.
“Mas, bisa ngeprint?” Tanyaku.
“Bisa Mbak...” jawabnya. Antrian hanya sekitar dua orang, tapi aku sempat panik karena khawatir tertinggal. Bahkan aku sempat mencari tempat lain, tapi kembali ke tempat yang pertama.
“Ngeprint kartu peserta lewat online?”
“Bisa Mbak, tulis NIK dan password nya dulu.”
Antrian didepanku ternyata juga melakukan hal yang sama, sedari tadi aku tidak melihat jam. Ketika aku melihat jam berapa saat itu, ternyata waktu menujukkan pukul 07.15 WIB. Meski ujian akan dimulai pukul 08.00 WIB tapi kami harus segera masuk karena harus registrasi terlebih dahulu satu persatu.
Alhamdulillah masih ada waktu.’ Batinku. Aku yakin tidak akan terlambat, tapi tetap saja tubuhku sudah mandi keringat karena kepanikan yang dari tadi mengganggu kepalaku. ‘Bagaimana pun nanti, setidaknya aku masih bisa ikut ujian.’
Setelah mencetak kartu peserta, tampak dari gerbang lapangan antrian sudah habis, tapi tenda karantina masih dipenuhi orang. Aku ikut duduk bersama mereka, disana mereka melakukan pemeriksaan barang bawaan, bahkan perhiasan anting pun tak diperkenankan untuk dipakai dan diminta dititipkan di tempat penitipan. ‘Tau gitu dari tadi sudah kulepas’.
Beberapa menit kemudian, kami dipersilahkan masuk ke gedung aula. Proses registrasi ulang cukup memakan waktu panjang, dari pemeriksaan barang bawaan, pemeriksaan kartu peserta dan pemeriksaan fisik. ‘Ini memang bukan kegiatan rahasia kayak film-film Hollywood, dimana ditakutkan peserta membawa alat komunikasi tersembunyi atau bahka kamera pengintai mungkin, tapi begitulah SOP yang berlaku.
Aku masuk gedung aula setelah panitia memberi lembar buram berisi PIN sekaligus untuk coret-coret. Tampak ratusan komputer telah berjejer rapi disana, aku segera duduk di deretan kursi yang telah ditetapkan. Tak berapa lama aula telah dipenuhi peserta, seorang panitia menyambut kami, dilanjutkan dengan memberikan informasi seputar peraturan yang wajib kami ikuti. Kami mengikuti aba-aba yang diberikan panitia, didalam aula tersebut tak terlalu banyak panitia, mungkin karena mereka hanya bertugas membantu peserta yang mengalami masalah dengan layar komputernya, ‘toh siapa yang akan contek-menyontek, ketika pesertanya saja tidak kenal satu sama lain, kalau toh kenal, tidak mungkin duduk berselebahan karena pendaftaran online dilakukan sendiri-sendiri’. Benar saja, baru saja aku log in, layarku bekerja lambat, kulihat peserta lain dapat mengatasi masalah komputernya dengan mudah tapi tidak denganku dan beberapa peserta lain. Aku mengangkat tangan meminta bantuan, panitia menyarankanku untuk pindah kursi, tapi setelah kucoba tutup browser dan membukanya, ternyata bisa! Panitia mengatakan tidak perlu khawatir kehabisan waktu. Ya karena memang setiap peserta memiliki waktunya masing-masing sesuai waktu mereka log in.
Meski aulanya cukup luas, tapi badanku tetap saja kepanasan, apakah karena dari awal aku sudah mengalami hal-hal tak terduga atau memang karena jumlah manusia yang ada didalam amat banyak, entahlah. Aku mulai membaca soal ujian, setelah kusadari untuk pindah nomor satu ke nomor lainnya, loadingnya lama nian. Aku melirik peserta lain yang tampak tidak ada masalah dengan komputernya, atau aku yang parno saja, atau memang komputerku saja yang lambat. Mulai muncul berbagai opini di kepala, sering sekali hal ini muncul, dimana merugikan bagiku karena aku jadi mudah hilang konsentrasi.
Aku sudah pernah ujian semacam CAT sebelumnya, yaitu saat UKOM (Uji Kompetensi Ners Indonesia, ujian ini wajib bagi beberapa jurusan kesehatan), memang pesertanya tak sebanyak ini, tapi jaringannya lancar sekali. Aku melirik peserta lain, dan menyadari di meja mereka masing-masing ada pensilnya. Kepanikan selanjutnya adalah kepalaku kembali bertanya-tanya, kenapa mereka semua memiliki pensil di mejanya? Apa tadi saat pembagian didepan aku tidak menyadarinya? Apa peserta diijinkan membawa pensil? Aku mulai parno, bahkan sempat kepikiran lari ke panitia untuk pinjam alat tulis? Well, aku menenangkan diriku sendiri, mengerjakan soal-soal didepanku dengan tenang. Aku melewati beberapa soal-soal hitungan.
Hitungan mundur detik per detik di layarku menunjukkan waktuku akan segera habis. Aku melihat peserta lainnya sudah banyak yang telah menyelesaikan soalnya, ketika salah seorang panitia menyampaikan informasi berikutnya.
“Peserta yang telah selesai dapat melihat hasil akhir di layar masing-masing, apakah skornya telah melewati passing grade, jika melewati passing grade maka peserta dapat menunggu pengumuman berikutnya, apakah dapat mengikuti seleski berikutnya atau tidak.”
“Bagi peserta yang telah selesai, mohon tidak membawa serta pensil yang ada di meja.” Imbuhnya.
What!!!’ Well, it’s mean pensil itu memang sedari awal sudah ada di meja peserta, kenapa tidak ada di mejaku? Bisa jadi terbawa oleh peserta pada hari sebelumnya. Ini kecerobohan berikutnya yang kulakukan, mungkin karena dari awal sudah panik jadi aku tak manyadari akan fakta ini. Aku menoleh ke belakang, dan meminta mengambilkan pensil pada peserta dibelakangku karena peserta disebelahnya telah meninggalkan tempat alias selesai. Aku ngebut mengerjakan soal hitungan. Sejujurnya kepalaku sudah pusing dihadapkan dengan soal wawasan kebangsaan, terbukti barangkali aku kurang cinta tanah air, ditambah soal intelegensi khususnya matematika, dimana aku tidak se-menguasai layaknya dua saudaraku lainnya, kuakui mereka jago hitung menghitung, tapi mereka malah tidak pernah merasakan bangku tes CPNS.
Sekitar pukul 10.00 WIB ujian usai, 100 soal dengan waktu 90 menit! Imagine it! Sedangkan soal UKOM yang berisi 180 soal kami selesaikan dalam waktu 180 menit tanpa istirahat, ya memang ini ujian yang sangat jauh berbeda. Layar menunjukkan hitungan mundur, waktu pengerjaanku habis, memang sudah semua soal ku baca, meski beberapa diantaranya sengaja kosong karena tak ada jawaban apapun di kepalaku. Skor nilai menunjukkan bahwa aku tak mencapai passing grade yang ditentukan, sedikit kecewa tapi juga tak terlalu menyesal karena persiapanku sendiri tak maksimal. Aku kembali mencari Ibu, menyampaikan hasil akhir padanya, tampaknya ia siap bagaimana pun hasilnya, meski sempat kaget karena hasilnya keluar saat itu juga. Ibu berpikir, yang penting aku telah mengetahui pengalaman CPNS, kami kembali ke mushola, aku berganti baju dan menunggu adzan dhuhur tiba. Sembari menunggu waktu shalat, kami makan terlebih dahulu makanan yang memang sengaja dibawa dari rumah, seadanya, tapi saat kau lapar, kau bisa menyantap apapun, terlebih setelah spot jantung dari pagi.
Setelah shalat, kami beres-beres, aku segera menghubungi layanan Grab. Sembari menunggu Grab datang, kami menyempatkan diri mengambil gambar beberapa kali. Kami tiba di Terminal Surabaya, aku baru tau terminalnya sudah jauh berbeda dari terakhir kali aku kesana beberapa tahun yang lalu, tampak bersih dan modern.

Sekitar pukul 15.00 WIB kami tiba dirumah tepat saat adzan ashar berkumandang. Hari itu takkan terlupakan, mungkin bukan hal besar bagi orang lain, tapi tidak bagiku. Aku bersyukur mendapat pengalaman baru, aku yakin kejadian satu hari itu atas kuasaNya. Selalu ada hikmah dibalik perjalanan andai kamu mau menyadarinya, pelajaran yang berkesan, melihat tempat baru, orang-orang baru, dan pastinya pengalaman yang tak terlupakan. Meski perjalananku tak begitu jauh, dibandingkan peserta lainnya yang datang jauh-jauh dari seluruh penjuru Jawa Timur, tapi aku percaya setiap orang memiliki ceritanya masing-masing.


Jumat, 15 September 2017

Job Hunter

Job Hunter

Rabu, 6 September 2017 aku berangkat menuju Stasiun Malang Kota diantar tetanggaku menggunakan sepeda motor. Pukul 7 aku sudah sampai disana, masih terlalu pagi untuk kereta tujuan Kediri yang akan berangkat pukul 08.20 WIB. Aku sengaja datang karena belum pernah mencoba check in menggunakan e-ticket. Sehari sebelumnya, aku mendatangi stasiun untuk memesan tiket, sampai disana aku urung memesan tiket karena antriannya begitu panjang, maklum selama ini kalau naik kereta beli tiketnya di stasiun cabang, yang dekat dengan rumah. Akhirnya aku putuskan membeli tiket via online, aku memang tidak pernah membeli tiket langsung berangkat karena takut kehabisan.
Kereta tujuanku sudah tiba, aku dan beberapa penumpang pun segera naik, setelah sebelumnya melakukan check in yang ternyata sangat mudah. Ketika aku sampai di gerbongku, aku baru sadar kalau tiketku itu tiket eksekutif, pantas saja perempuan yang masih mahasiswi disebelahku agak terkejut ketika aku katakan kota tujuanku adalah Kediri. Aku saja terkejut, baru sadar aplikasi yang kugunakan untuk pesan tiket hanya menunjukkan kelas bisnis dan eksekutif, padahal dari awal sudah curiga dengan harganya yang nggak wajar. Kenapa terkejut? Mungkin dia mengira aku anak orang kaya yang ke kota sebelah aja pilih gerbong eksekutif. Karena sebagian besar penumpang di gerbong tersebut memiliki tujuan kota Yogyakarta,  dimana mereka butuh fasilitas yang baik untuk perjalanan panjang.
Sekitar 3 jam kemudian aku sampai di Stasiun Kediri, aku langsung menuju toilet akibat gerbong eksekutif yang suhunya sangat dingin menyebabkan ingin BAK. Setelah itu aku memesan ojek online untuk mengantarkanku menuju kampus IIK (Institut Ilmu Kesehatan), sebelumnya aku melacak jarak antara stasiun dengan IIK, dan ternyata sangat dekat. FYI, aku ke IIK ini untuk mengikuti walk interview salah satu Rumah Sakit swasta di Kota Malang, yang entah mengapa mengadakan interview disana, ada sekitar 16 jurusan yang dibuka untuk bekerja disana, mereka baru saja memperluas ruang Rumah Sakit.
Sesampainya di kampus IIK, aku berjalan masuk, menanyakan tempat walk interview diselenggarakan. Sebelumnya aku sudah pernah ke Kediri, seperti biasa, suhu disana cukup panas. Aku menuju lorong yang sudah dipenuhi wajah-wajah job hunter, tak kusangka banyak sekali yang antusias datang kesana, aku yakin banyak yang dari luar kota, bahkan aku mendengar ada yang dari Jakarta. Ditengah hiruk pikuk, ada sebuah seuara yang seakan memanggilku.
“Ni...” aku pun menoleh.
“Lo hey..” jawabku melongo.
“Nomor urut berapa?” tanyanya.
“Aku baru sampai...”
“Kayaknya kamu baru bisa hari Jumat”
“Bentar ya aku ke mushola dulu.”
Sesampai disana, aku memang sengaja mencari mushola dulu, karena adzan dhuhur telah berkumandang sejak aku menginjakkan kaki di Stasiun Kediri. Setelah selesai, aku pun kembali mencari temanku dan mengambil nomor antrian. Temanku ini laki-laki, sebut saja namanya Edi, dia temanku kuliah selama 5 tahun.
“Dapat nomor berapa?“
“274. Kamu?”
“235”
“Emang dateng jam berapa kok jaraknya deketan sama aku yang baru datang?”
“Jam setengah 10. Padahal tadi udah ngebut kesini bareng temen, biar bisa tes hari ini.”
“Naik apa emang?”
“Kami bawa mobil”
"Tau gitu aku bareng"
"Lah gak bilang"
"Ya kan gatau, aku ajak Hani dia gak mau"
"Ya ga ngajak aku." Terserah dia lah ya. Ngobrol dengannya nggak akan selesai. 
Aku mendapat nomor urut 274, padahal itu nomor khusus jurusan keperawatan dan kebidanan, tapi angkanya sudah mencapai kepala 2. Sedangakan jurusan lainnya seperti teknik, peminatnya tidak sebanyak itu, jelas karena pasti peminat Rumah Sakit kebanyakan dari jurusan kesehatan. Akhirnya aku dan Edi nimbrung di sekumpulan teman-teman dari beberapa jurusan dan usia, semuanya laki-laki karena Edi memang sengaja mencari teman baru disana.
Waktu menunjukkan 14.30 WIB aku dan Edi mulai gelisah, otomatis nomor kami tidak akan terpanggil hari ini. 
“Ini pasti nggak kepanggil, masih sampai nomor 70.” kata Edi. 
“Yawda balik aja.”
Hari itu, wajah kami agak kecewa karena tidak mendapat kepastian apakah nomor kami besok dipanggil atau tidak. Aku putuskan menginap ditempat temanku diantar Edi dan temannya, rejeki musafir hehe. Kami menyempatkan waktu untuk mampir ke Simpang Lima Gumul, ternyata bangunannya sedang dalam renovasi, meski begitu, kami tetap mengambil gambar beberapa kali. Setidaknya ada hiburan untuk kami, aku pun beruntung dapat teman seperjalanan, nggak bisa bayangin nunggu antrian panggilan tanpa teman. 
Sesampainya di Pare, kami berpisah, mereka melanjutkan perjalanan menuju Malang, aku pun menunggu temanku menjemputku. Sembari menunggu, aku merogoh saku rokku. Memeriksa nomor antrian yang kusimpan disana. Aku rogoh saku kanan kiri, tidak kutemukan nomor itu, aku pun panik dan mencarinya di tas. Aku mulai lemas, aku kembali mencarinya di sepanjang jalan yang kutelusuri sekitar 10 meter-an. Aku menghubungi Edi via WA, mengatakan bahwa aku tidak menemukan nomorku dan minta tolong ia mencarinya di mobilnya. Aku yakin nomor itu jatuh antara di mobil Edi atau di SLG, karena hanya saat itu saja aku mengeluarkan HP, dimana aku letakkan di saku yang sama dengan aku meletakkan nomor antrian. Aku mulai panik, aku tak menemukannya dimanapun, Edi HP nya tak dapat dihubungi karena baterainya low. Aku membayangkan harus kembali lagi menuju SLG dan mencarinya disana, tapi terlalu jauh.
Beberapa menit kemudian temanku datang, kami pun menuju rumahnya. Di tengah perjalanan hatiku gusar, ingin rasanya menuju terminal dan pulang saja ke Malang karena aku tidak mungkin mengantri lagi dengan antrian yang mungkin sudah sampai angka 300 keatas.
Sesampainya dirumah temanku, aku langsung mandi karena tidak tahan dengan suhu disana, kemudia aku shalat ashar, aku berdoa agar hatiku dilapangkan, karena aku yakin ini takdir dari Allah, memberiku ujian yang tak terduga, atau mungkin ada hal lalai yang membuat Allah memberiku ujian ini. Aku tak menyangkan jauh-jauh ke Kediri, tapi harus berjuang lagi dari awal. Sedangkan aku tak bisa menginap lagi karena jarak rumah temanku dengan IIK sangat jauh. Waktu walk interview hanya 3 hari, tapi menurutku aktivitasnya kurang kondusif dengan peminat sebanyak itu.
Seusai shalat ashar aku membuka HP, memberi kabar ke orangtuaku ini itu, tidak termasuk nomor antrianku yang lenyap. Sebuah pesan dari Edi juga masuk.
“Kamu taruh mana?”, “coba cek di tas.”
Aku kecewa, karena rupanya di tidak menemukannya. Kemudian ia mengirim sebuah foto, aku membukanya dan terkejut dengan foto itu.
‘Masyaallah nomor antrianku!’ batinku, ternyata Edi menemukannya, saat itu juga rasanya aku ingin sekali memelukNya (memeluk Allah, bukan Edi). Segala Puji bagiNya yang memberi tepukan-tepukan nasehat untukku bagaimanapun situasiku. Karena memang diri ini terkadang masih sering lalai padaNya.
Masalah nomor antrian selesai, masalah selanjutnya adalah aku dan Edi bingung apakah besok akan kembali ke IIK karena belum tentu nomor kami terpanggil. Aku menanyakan admin Rumah Sakit via email, tapi jawabannya kurang memuaskan, tentu saja karena mungkin admin tersebut tidak berada di Kediri sebagai panitia penyelenggara.
Sampai keesokan harinya, kami tetap bingung, ingin sekali aku berangkat tapi percuma jika Edi tak berangkat. Karena nomor antrianku ada di tangannya, di Malang. Pukul 11.00 WIB, sudah sangat siang. Setelah perdebatan yang panjang, Edi pun memutuskan berangkat, tidak peduli dipanggil atau tidak, yang jelas ia tidak yakin akan kembali ke IIK di hari Jumat. Aku pun memutuskan berangkat diantar temanku karena memang transportasi disana cukup sulit. Aku berpamitan kepada ibunya karena mengijinaku tinggal dan makan dirumahnya.
Sesampainya di IIK, aku menanyakan pada panitia apakah kami yang mengantri di hari sebelumnya dapat ikut tes hari ini. Panitia tersebut mengatakan kami boleh langsung masuk untuk mengantri tes dengan menunjukkan nomor antrian. Aku pun segera menghubungi Edi, mengatakan bahwa kami boleh masuk.
Waktu menunjukkan 14.30 WIB, aku mulai gelisah karena Edi tak kunjung datang, pesan pun tak kunjung dibalasnya. Peserta hari itu sudah hampir habis, tes interview tidak lagi dilakukan satu persatu seperti hari sebelumnya, mungkin karena peminatnya banyak, mereka memanggil 5 orang sekaligus.
Aku beberapa kali mencari sosok Edi, hingga muncullah wajahnya di ujung lorong. Aku pun memanggilnya, kemudian berpamitan dan berterima kasih pada temanku karena telah banyak membantuku. Aku dan Edi pun langsung masuk ruang tes bersamaan. Sebenarnya kami bisa dibilang urutan terakhir yang masuk ke ruang interview di hari itu. Karena ketika Edi datang, pesertanya sudah habis. Tes tak berlangsung lama, tes interview sangat singkat karena kami ada 5 orang, mungkin HRD nya mulai lelah, tes tulis dengan 20 soal, cukup sulit untukku yang sudah lama tidak belajar, terakhir kali belajar waktu ujian UKOM 4 bulan yang lalu.
Walk interview hari selesai. Aku bersyukur karena ada teman pulang, alias nebeng Edi yang membawa mobil. Nggak nyangka Allah mengirimkan orang-orang yang baik padaku, ditengah kepanikan dan kecerobohan yang kulakukan. Aku percaya, setiap perjalanan memiliki nilai kehidupan tersendiri, terlepas manusia itu mau menyadarinya atau tidak.

Abaikan 2 orang dibelakang yang matanya silau. Silau kena matahari ya, bukan karena aku haha.

Minggu, 03 September 2017

Salah Satu Kisah Ners-ku

Pasien dengan Post KLL
Hari itu adalah salah satu hari dimana progam studi profesiku berlangsung, ilmu keperawatan adalah bidang kami. Aku dan teman-teman sekelas praktik profesi di salah satu Rumah Sakit pemerintah Jawa Timur. Bulan pertama yang membuat hatiku berdetak lebih cepat dari biasanya, karena untuk pertama kalinya akan praktik selama 6 bulan di Rumah Sakit, sebelumnya kami memang pernah praktik lapangan, tapi hanya berlangsung sekitar dua minggu saja. Terlebih di masa praktik yang masih berstatus mahasiswa itu, aku lebih sering mengekor senior yang ada di lapangan, terlalu ragu melakukan tindakan langsung, tapi tidak untuk kali ini, kami harus bisa lebih profesional, bukan lagi mahasiswa bermental abal-abal.
Pagi itu cukup sibuk di Departemen yang aku dan kelompokku tempati, kami mendapat Departemen Keperawatan Medikal Bedah, dimana pasien dengan berbagai penyakit ada disini. Pagi itu aku mendapat bagian observasi TTV (tanda-tanda vital : tensi, cek suhu, nadi) di ruangan ortopedi. Aku mengecek satu-persatu pasien ruangan itu, hingga sampailah pada salah satu pasien, seorang ibu post kecelakaan lalu lintas.
“Ibu apakah ada keluhan?” tanyaku setelah mengecek TTV beliau.
“Perut saya kaku Mbak,” jawabnya,
“Apakah sebelumnya sudah BAB dan menyampaikan keluhan pada dokter?” tanyaku.
“Sudah Mbak,” katanya dengan wajah pucat dan lemah.
“Baik Bu, saya akan segera menyampaikan pada dokter.” Kataku.
Aku pun kembali menuju kantor perawat, kemudian menyampaikan pada perawat yang dipasangkan denganku untuk mengatur ruangan ortopedi shift hari itu. Kemudian perawat tersebut akan menyampaikan pada dokter yang bertugas memeriksa pasien. Perawat tersebut juga menyampaikan akan segera kembali mengobservasi pasien.
Beberapa jam kemudian, suami pasien memanggil perawat karena istrinya mulai berbicara aneh dan tidak bisa nyambung saat diajak bicara. Aku dan seorang perawat segera menghampiri pasien, memeriksa kembali TTV.
“Yah, aku udah nggak kuat,” kata ibu tersebut, tatapannya kosong, aku dan beberapa orang disekitar pasien ikut iba melihatnya.
“Mama kuat kok,” kata suaminya, sembari menangis disampingnya.
Aku dan beberapa pasien disampingnya tak tega melihatnya, sembari itu perawat yang bersamaku segera memanggil dokter. Pasien tersebut memang sudah beberapa hari opname, kondisinya cukup buruk dengan kondisi patah tulang bagian kaki kiri. Sebelumnya dicurigai perutnya mengalami trauma dari kecelakaan yang dialaminya, sebelumnya ia bersepeda motor dengan anak perempuannya, kemudian mereka mengalami kecelakaan, anak perempuannya sendiri mengalami patah tulang bagian kaki kiri, namun kondisinya lebih baik dari ibunya.
Beberapa menit kemudian sang ibu tak sadarkan diri, aku dan seorang perawat mengecek nadinya yang semakin turun. Kemudian seorang dokter melakukan tindakan pijat jantung (RJP) pada pasien, beberapa kali kami melakukan pertolongan awal pada henti jantung tapi tidak membuahkan hasil, hingga akhirnya dokter menyampaikan bahwa sang pasien telah tiada. Sontak ruangan tersebut ramai, pecah oleh tangisan sang suami, ia menangis disamping istrinya, dengan berusaha melapangkan hati kedua anaknya yang ada disampingnya. Beberapa kali sang suami pingsan, sang anak perempuan menangis keras, dan saudara laki-laki nya yang juga masih kecil sempat mengumpat, marah pada orang yang menabrak ibunya.
Aku dan beberapa teman juga perawat tak tega melihatnya. Ingin menangis, tapi kami tidak boleh bersimpati berlebihan, terkadang tidak mudah menghapadi situasi seperti ini.
Beberapa minggu berlalu, aku dan kelompokku saat itu ditugaskan di Departemen Poli Ortopedi. Departemen ini tak kalah menarik dari departemen lainnya, dimana pasien berbagai patah tulang membuat ngilu saat melihat balutannya dibuka. Hingga seorang pasien masuk ke dalam ruangan, dimana aku dan temanku yang juga kebetulan satu ruangan di departemen KMB (setiap pindah departemen anggota kelompok bisa berubah sesuatu kebutuhan perawat) sama-sama saling memasang wajah terkejut, jantung kami seakan dipompa lebih cepat, teringat kejadian beberapa minggu lalu di departemen KMB.
Seorang gadis kecil dengan patah tulang pada kakinya, hari itu dijadwalkan dibuka balutannya. Yups, gadis itu adalah putri dari pasien yang beberapa minggu lalu meninggal di ruang inap ortopedi. Saat balutannya akan dirobek dengan mesin perobek, gadis itu mulai ketakutan, ia menangis disamping ayahnya.
“Ibu, sakit Ibu,” tangisnya.
“Nggak boleh gitu, kemarin kan sudah ngga papa, Ibu sudah tenang disana, ayo Nak, kamu kuat, ini udah mau sembuh,” hibur ayahnya. Seketika aku ingin meneteskan air mata detik itu juga, namun hanya bisa menelan ludah di tenggorokan.
Terkadang kita lupa bersyukur akan keadaan kita, banyak mengeluh karena tugas yang menumpuk, belum lagi fisik yang dihabiskan berjam-jam di rumah sakit. Padahal banyak jiwa-jiwa yang bersedih karena lelah menenangkan hati setelah kehilangan sosok penting dalam hidupnya. Pekerjaan ini memang menarik dan aku bangga, meski kadang dalam kelelahanku aku ingin lebih dari sekarang, mengutuk diri sendiri karena kurang bisa menjadi pribadi yang lebih baik.

Begitulah salah satu kisahku saat praktik di rumah sakit dulu, sebenarnya terlambat sekali baru menulisnya sekarang, karena sudah banyak yang kabur dari ingatan. Bukannya saat itu aku nggak ada niatan untuk menulis cerita-cerita saat profesi Ners, tapi badan ini memang terlalu manja, beralasan terlalu banyak tugas, diaman fisik maupun mental ditempa habis-habisan. Tapi aku tidak pernah kesal oleh tugas-tugas itu, karena memang itu tugasku, bidangku, aku menikmati masa-masa profesiku, yang aku tau dari awal memulainya, aku akan merindukaannya kembali, seperti sekarang. Btw, saya sangat menyadari tulisan saya ini acak adul, efek lama nggak nulis, sekalinya ingin kembali menulis, hasilnya miris. ^_^