Jumat, 15 September 2017

Job Hunter

Job Hunter

Rabu, 6 September 2017 aku berangkat menuju Stasiun Malang Kota diantar tetanggaku menggunakan sepeda motor. Pukul 7 aku sudah sampai disana, masih terlalu pagi untuk kereta tujuan Kediri yang akan berangkat pukul 08.20 WIB. Aku sengaja datang karena belum pernah mencoba check in menggunakan e-ticket. Sehari sebelumnya, aku mendatangi stasiun untuk memesan tiket, sampai disana aku urung memesan tiket karena antriannya begitu panjang, maklum selama ini kalau naik kereta beli tiketnya di stasiun cabang, yang dekat dengan rumah. Akhirnya aku putuskan membeli tiket via online, aku memang tidak pernah membeli tiket langsung berangkat karena takut kehabisan.
Kereta tujuanku sudah tiba, aku dan beberapa penumpang pun segera naik, setelah sebelumnya melakukan check in yang ternyata sangat mudah. Ketika aku sampai di gerbongku, aku baru sadar kalau tiketku itu tiket eksekutif, pantas saja perempuan yang masih mahasiswi disebelahku agak terkejut ketika aku katakan kota tujuanku adalah Kediri. Aku saja terkejut, baru sadar aplikasi yang kugunakan untuk pesan tiket hanya menunjukkan kelas bisnis dan eksekutif, padahal dari awal sudah curiga dengan harganya yang nggak wajar. Kenapa terkejut? Mungkin dia mengira aku anak orang kaya yang ke kota sebelah aja pilih gerbong eksekutif. Karena sebagian besar penumpang di gerbong tersebut memiliki tujuan kota Yogyakarta,  dimana mereka butuh fasilitas yang baik untuk perjalanan panjang.
Sekitar 3 jam kemudian aku sampai di Stasiun Kediri, aku langsung menuju toilet akibat gerbong eksekutif yang suhunya sangat dingin menyebabkan ingin BAK. Setelah itu aku memesan ojek online untuk mengantarkanku menuju kampus IIK (Institut Ilmu Kesehatan), sebelumnya aku melacak jarak antara stasiun dengan IIK, dan ternyata sangat dekat. FYI, aku ke IIK ini untuk mengikuti walk interview salah satu Rumah Sakit swasta di Kota Malang, yang entah mengapa mengadakan interview disana, ada sekitar 16 jurusan yang dibuka untuk bekerja disana, mereka baru saja memperluas ruang Rumah Sakit.
Sesampainya di kampus IIK, aku berjalan masuk, menanyakan tempat walk interview diselenggarakan. Sebelumnya aku sudah pernah ke Kediri, seperti biasa, suhu disana cukup panas. Aku menuju lorong yang sudah dipenuhi wajah-wajah job hunter, tak kusangka banyak sekali yang antusias datang kesana, aku yakin banyak yang dari luar kota, bahkan aku mendengar ada yang dari Jakarta. Ditengah hiruk pikuk, ada sebuah seuara yang seakan memanggilku.
“Ni...” aku pun menoleh.
“Lo hey..” jawabku melongo.
“Nomor urut berapa?” tanyanya.
“Aku baru sampai...”
“Kayaknya kamu baru bisa hari Jumat”
“Bentar ya aku ke mushola dulu.”
Sesampai disana, aku memang sengaja mencari mushola dulu, karena adzan dhuhur telah berkumandang sejak aku menginjakkan kaki di Stasiun Kediri. Setelah selesai, aku pun kembali mencari temanku dan mengambil nomor antrian. Temanku ini laki-laki, sebut saja namanya Edi, dia temanku kuliah selama 5 tahun.
“Dapat nomor berapa?“
“274. Kamu?”
“235”
“Emang dateng jam berapa kok jaraknya deketan sama aku yang baru datang?”
“Jam setengah 10. Padahal tadi udah ngebut kesini bareng temen, biar bisa tes hari ini.”
“Naik apa emang?”
“Kami bawa mobil”
"Tau gitu aku bareng"
"Lah gak bilang"
"Ya kan gatau, aku ajak Hani dia gak mau"
"Ya ga ngajak aku." Terserah dia lah ya. Ngobrol dengannya nggak akan selesai. 
Aku mendapat nomor urut 274, padahal itu nomor khusus jurusan keperawatan dan kebidanan, tapi angkanya sudah mencapai kepala 2. Sedangakan jurusan lainnya seperti teknik, peminatnya tidak sebanyak itu, jelas karena pasti peminat Rumah Sakit kebanyakan dari jurusan kesehatan. Akhirnya aku dan Edi nimbrung di sekumpulan teman-teman dari beberapa jurusan dan usia, semuanya laki-laki karena Edi memang sengaja mencari teman baru disana.
Waktu menunjukkan 14.30 WIB aku dan Edi mulai gelisah, otomatis nomor kami tidak akan terpanggil hari ini. 
“Ini pasti nggak kepanggil, masih sampai nomor 70.” kata Edi. 
“Yawda balik aja.”
Hari itu, wajah kami agak kecewa karena tidak mendapat kepastian apakah nomor kami besok dipanggil atau tidak. Aku putuskan menginap ditempat temanku diantar Edi dan temannya, rejeki musafir hehe. Kami menyempatkan waktu untuk mampir ke Simpang Lima Gumul, ternyata bangunannya sedang dalam renovasi, meski begitu, kami tetap mengambil gambar beberapa kali. Setidaknya ada hiburan untuk kami, aku pun beruntung dapat teman seperjalanan, nggak bisa bayangin nunggu antrian panggilan tanpa teman. 
Sesampainya di Pare, kami berpisah, mereka melanjutkan perjalanan menuju Malang, aku pun menunggu temanku menjemputku. Sembari menunggu, aku merogoh saku rokku. Memeriksa nomor antrian yang kusimpan disana. Aku rogoh saku kanan kiri, tidak kutemukan nomor itu, aku pun panik dan mencarinya di tas. Aku mulai lemas, aku kembali mencarinya di sepanjang jalan yang kutelusuri sekitar 10 meter-an. Aku menghubungi Edi via WA, mengatakan bahwa aku tidak menemukan nomorku dan minta tolong ia mencarinya di mobilnya. Aku yakin nomor itu jatuh antara di mobil Edi atau di SLG, karena hanya saat itu saja aku mengeluarkan HP, dimana aku letakkan di saku yang sama dengan aku meletakkan nomor antrian. Aku mulai panik, aku tak menemukannya dimanapun, Edi HP nya tak dapat dihubungi karena baterainya low. Aku membayangkan harus kembali lagi menuju SLG dan mencarinya disana, tapi terlalu jauh.
Beberapa menit kemudian temanku datang, kami pun menuju rumahnya. Di tengah perjalanan hatiku gusar, ingin rasanya menuju terminal dan pulang saja ke Malang karena aku tidak mungkin mengantri lagi dengan antrian yang mungkin sudah sampai angka 300 keatas.
Sesampainya dirumah temanku, aku langsung mandi karena tidak tahan dengan suhu disana, kemudia aku shalat ashar, aku berdoa agar hatiku dilapangkan, karena aku yakin ini takdir dari Allah, memberiku ujian yang tak terduga, atau mungkin ada hal lalai yang membuat Allah memberiku ujian ini. Aku tak menyangkan jauh-jauh ke Kediri, tapi harus berjuang lagi dari awal. Sedangkan aku tak bisa menginap lagi karena jarak rumah temanku dengan IIK sangat jauh. Waktu walk interview hanya 3 hari, tapi menurutku aktivitasnya kurang kondusif dengan peminat sebanyak itu.
Seusai shalat ashar aku membuka HP, memberi kabar ke orangtuaku ini itu, tidak termasuk nomor antrianku yang lenyap. Sebuah pesan dari Edi juga masuk.
“Kamu taruh mana?”, “coba cek di tas.”
Aku kecewa, karena rupanya di tidak menemukannya. Kemudian ia mengirim sebuah foto, aku membukanya dan terkejut dengan foto itu.
‘Masyaallah nomor antrianku!’ batinku, ternyata Edi menemukannya, saat itu juga rasanya aku ingin sekali memelukNya (memeluk Allah, bukan Edi). Segala Puji bagiNya yang memberi tepukan-tepukan nasehat untukku bagaimanapun situasiku. Karena memang diri ini terkadang masih sering lalai padaNya.
Masalah nomor antrian selesai, masalah selanjutnya adalah aku dan Edi bingung apakah besok akan kembali ke IIK karena belum tentu nomor kami terpanggil. Aku menanyakan admin Rumah Sakit via email, tapi jawabannya kurang memuaskan, tentu saja karena mungkin admin tersebut tidak berada di Kediri sebagai panitia penyelenggara.
Sampai keesokan harinya, kami tetap bingung, ingin sekali aku berangkat tapi percuma jika Edi tak berangkat. Karena nomor antrianku ada di tangannya, di Malang. Pukul 11.00 WIB, sudah sangat siang. Setelah perdebatan yang panjang, Edi pun memutuskan berangkat, tidak peduli dipanggil atau tidak, yang jelas ia tidak yakin akan kembali ke IIK di hari Jumat. Aku pun memutuskan berangkat diantar temanku karena memang transportasi disana cukup sulit. Aku berpamitan kepada ibunya karena mengijinaku tinggal dan makan dirumahnya.
Sesampainya di IIK, aku menanyakan pada panitia apakah kami yang mengantri di hari sebelumnya dapat ikut tes hari ini. Panitia tersebut mengatakan kami boleh langsung masuk untuk mengantri tes dengan menunjukkan nomor antrian. Aku pun segera menghubungi Edi, mengatakan bahwa kami boleh masuk.
Waktu menunjukkan 14.30 WIB, aku mulai gelisah karena Edi tak kunjung datang, pesan pun tak kunjung dibalasnya. Peserta hari itu sudah hampir habis, tes interview tidak lagi dilakukan satu persatu seperti hari sebelumnya, mungkin karena peminatnya banyak, mereka memanggil 5 orang sekaligus.
Aku beberapa kali mencari sosok Edi, hingga muncullah wajahnya di ujung lorong. Aku pun memanggilnya, kemudian berpamitan dan berterima kasih pada temanku karena telah banyak membantuku. Aku dan Edi pun langsung masuk ruang tes bersamaan. Sebenarnya kami bisa dibilang urutan terakhir yang masuk ke ruang interview di hari itu. Karena ketika Edi datang, pesertanya sudah habis. Tes tak berlangsung lama, tes interview sangat singkat karena kami ada 5 orang, mungkin HRD nya mulai lelah, tes tulis dengan 20 soal, cukup sulit untukku yang sudah lama tidak belajar, terakhir kali belajar waktu ujian UKOM 4 bulan yang lalu.
Walk interview hari selesai. Aku bersyukur karena ada teman pulang, alias nebeng Edi yang membawa mobil. Nggak nyangka Allah mengirimkan orang-orang yang baik padaku, ditengah kepanikan dan kecerobohan yang kulakukan. Aku percaya, setiap perjalanan memiliki nilai kehidupan tersendiri, terlepas manusia itu mau menyadarinya atau tidak.

Abaikan 2 orang dibelakang yang matanya silau. Silau kena matahari ya, bukan karena aku haha.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar