Job Hunter
Rabu, 6 September 2017 aku berangkat menuju Stasiun
Malang Kota diantar tetanggaku menggunakan sepeda motor. Pukul 7 aku sudah
sampai disana, masih terlalu pagi untuk kereta tujuan Kediri yang akan
berangkat pukul 08.20 WIB. Aku sengaja datang karena belum pernah mencoba check
in menggunakan e-ticket. Sehari sebelumnya, aku mendatangi stasiun untuk
memesan tiket, sampai disana aku urung memesan tiket karena antriannya begitu
panjang, maklum selama ini kalau naik kereta beli tiketnya di stasiun cabang,
yang dekat dengan rumah. Akhirnya aku putuskan membeli tiket via online, aku
memang tidak pernah membeli tiket langsung berangkat karena takut kehabisan.
Kereta tujuanku sudah tiba, aku dan beberapa
penumpang pun segera naik, setelah sebelumnya melakukan check in yang ternyata
sangat mudah. Ketika aku sampai di gerbongku, aku baru sadar kalau tiketku itu
tiket eksekutif, pantas saja perempuan yang masih mahasiswi disebelahku agak
terkejut ketika aku katakan kota tujuanku adalah Kediri. Aku saja terkejut,
baru sadar aplikasi yang kugunakan untuk pesan tiket hanya menunjukkan kelas
bisnis dan eksekutif, padahal dari awal sudah curiga dengan harganya yang nggak
wajar. Kenapa terkejut? Mungkin dia mengira aku anak orang kaya yang ke kota
sebelah aja pilih gerbong eksekutif. Karena sebagian besar penumpang di gerbong
tersebut memiliki tujuan kota Yogyakarta, dimana mereka butuh fasilitas yang baik untuk perjalanan panjang.
Sekitar 3 jam kemudian aku sampai di Stasiun Kediri,
aku langsung menuju toilet akibat gerbong eksekutif yang suhunya sangat dingin
menyebabkan ingin BAK. Setelah itu aku memesan ojek online untuk mengantarkanku
menuju kampus IIK (Institut Ilmu Kesehatan), sebelumnya aku melacak jarak
antara stasiun dengan IIK, dan ternyata sangat dekat. FYI, aku ke IIK ini untuk
mengikuti walk interview salah satu Rumah Sakit swasta di Kota Malang, yang
entah mengapa mengadakan interview disana, ada sekitar 16 jurusan yang dibuka
untuk bekerja disana, mereka baru saja memperluas ruang Rumah Sakit.
Sesampainya di kampus IIK, aku berjalan masuk,
menanyakan tempat walk interview diselenggarakan. Sebelumnya aku sudah pernah
ke Kediri, seperti biasa, suhu disana cukup panas. Aku menuju lorong yang sudah
dipenuhi wajah-wajah job hunter, tak kusangka banyak sekali yang antusias
datang kesana, aku yakin banyak yang dari luar kota, bahkan aku mendengar ada
yang dari Jakarta. Ditengah hiruk pikuk, ada sebuah seuara yang seakan
memanggilku.
“Ni...” aku pun menoleh.
“Lo hey..” jawabku melongo.
“Nomor urut berapa?” tanyanya.
“Aku baru sampai...”
“Kayaknya kamu baru bisa hari Jumat”
“Bentar ya aku ke mushola dulu.”
Sesampai disana, aku memang sengaja mencari mushola
dulu, karena adzan dhuhur telah berkumandang sejak aku menginjakkan kaki di
Stasiun Kediri. Setelah selesai, aku pun kembali mencari temanku dan mengambil
nomor antrian. Temanku ini laki-laki, sebut saja namanya Edi, dia temanku
kuliah selama 5 tahun.
“Dapat nomor berapa?“
“274. Kamu?”
“235”
“Emang dateng jam berapa kok jaraknya deketan sama
aku yang baru datang?”
“Jam setengah 10. Padahal tadi udah ngebut kesini
bareng temen, biar bisa tes hari ini.”
“Naik apa emang?”
“Kami bawa mobil”
"Tau gitu aku bareng"
"Lah gak bilang"
"Ya kan gatau, aku ajak Hani dia gak mau"
"Ya ga ngajak aku." Terserah dia lah ya. Ngobrol dengannya nggak akan selesai.
Aku mendapat nomor urut 274, padahal itu nomor
khusus jurusan keperawatan dan kebidanan, tapi angkanya sudah mencapai kepala
2. Sedangakan jurusan lainnya seperti teknik, peminatnya tidak sebanyak itu,
jelas karena pasti peminat Rumah Sakit kebanyakan dari jurusan kesehatan. Akhirnya
aku dan Edi nimbrung di sekumpulan teman-teman dari beberapa jurusan dan usia,
semuanya laki-laki karena Edi memang sengaja mencari teman baru disana.
Waktu menunjukkan 14.30 WIB aku dan Edi mulai
gelisah, otomatis nomor kami tidak akan terpanggil hari ini.
“Ini pasti nggak kepanggil, masih sampai nomor 70.” kata Edi.
“Yawda balik aja.”
Hari itu, wajah kami agak kecewa karena tidak
mendapat kepastian apakah nomor kami besok dipanggil atau tidak. Aku putuskan
menginap ditempat temanku diantar Edi dan temannya, rejeki musafir hehe. Kami menyempatkan waktu
untuk mampir ke Simpang Lima Gumul, ternyata bangunannya sedang dalam renovasi,
meski begitu, kami tetap mengambil gambar beberapa kali. Setidaknya ada hiburan untuk kami, aku pun beruntung dapat teman seperjalanan, nggak bisa bayangin nunggu antrian panggilan tanpa teman.
Sesampainya di Pare, kami berpisah, mereka
melanjutkan perjalanan menuju Malang, aku pun menunggu temanku menjemputku. Sembari
menunggu, aku merogoh saku rokku. Memeriksa nomor antrian yang kusimpan disana.
Aku rogoh saku kanan kiri, tidak kutemukan nomor itu, aku pun panik dan
mencarinya di tas. Aku mulai lemas, aku kembali mencarinya di sepanjang jalan
yang kutelusuri sekitar 10 meter-an. Aku menghubungi Edi via WA, mengatakan
bahwa aku tidak menemukan nomorku dan minta tolong ia mencarinya di mobilnya. Aku
yakin nomor itu jatuh antara di mobil Edi atau di SLG, karena hanya saat itu
saja aku mengeluarkan HP, dimana aku letakkan di saku yang sama dengan aku
meletakkan nomor antrian. Aku mulai panik, aku tak menemukannya dimanapun, Edi
HP nya tak dapat dihubungi karena baterainya low. Aku membayangkan harus
kembali lagi menuju SLG dan mencarinya disana, tapi terlalu jauh.
Beberapa menit kemudian temanku datang, kami pun
menuju rumahnya. Di tengah perjalanan hatiku gusar, ingin rasanya menuju
terminal dan pulang saja ke Malang karena aku tidak mungkin mengantri lagi
dengan antrian yang mungkin sudah sampai angka 300 keatas.
Sesampainya dirumah temanku, aku langsung mandi
karena tidak tahan dengan suhu disana, kemudia aku shalat ashar, aku berdoa
agar hatiku dilapangkan, karena aku yakin ini takdir dari Allah, memberiku
ujian yang tak terduga, atau mungkin ada hal lalai yang membuat Allah memberiku
ujian ini. Aku tak menyangkan jauh-jauh ke Kediri, tapi harus berjuang lagi
dari awal. Sedangkan aku tak bisa menginap lagi karena jarak rumah temanku
dengan IIK sangat jauh. Waktu walk interview hanya 3 hari, tapi menurutku
aktivitasnya kurang kondusif dengan peminat sebanyak itu.
Seusai shalat ashar aku membuka HP, memberi kabar ke
orangtuaku ini itu, tidak termasuk nomor antrianku yang lenyap. Sebuah pesan
dari Edi juga masuk.
“Kamu taruh
mana?”, “coba cek di tas.”
Aku kecewa, karena rupanya di tidak menemukannya. Kemudian
ia mengirim sebuah foto, aku membukanya dan terkejut dengan foto itu.
‘Masyaallah nomor antrianku!’ batinku, ternyata Edi
menemukannya, saat itu juga rasanya aku ingin sekali memelukNya (memeluk Allah,
bukan Edi). Segala Puji bagiNya yang memberi tepukan-tepukan nasehat untukku
bagaimanapun situasiku. Karena memang diri ini terkadang masih sering lalai
padaNya.
Masalah nomor antrian selesai, masalah selanjutnya
adalah aku dan Edi bingung apakah besok akan kembali ke IIK karena belum tentu
nomor kami terpanggil. Aku menanyakan admin Rumah Sakit via email, tapi
jawabannya kurang memuaskan, tentu saja karena mungkin admin tersebut tidak
berada di Kediri sebagai panitia penyelenggara.
Sampai keesokan harinya, kami tetap bingung, ingin
sekali aku berangkat tapi percuma jika Edi tak berangkat. Karena nomor
antrianku ada di tangannya, di Malang. Pukul 11.00 WIB, sudah sangat siang. Setelah
perdebatan yang panjang, Edi pun memutuskan berangkat, tidak peduli dipanggil
atau tidak, yang jelas ia tidak yakin akan kembali ke IIK di hari Jumat. Aku pun
memutuskan berangkat diantar temanku karena memang transportasi disana cukup
sulit. Aku berpamitan kepada ibunya karena mengijinaku tinggal dan makan
dirumahnya.
Sesampainya di IIK, aku menanyakan pada panitia
apakah kami yang mengantri di hari sebelumnya dapat ikut tes hari ini. Panitia tersebut
mengatakan kami boleh langsung masuk untuk mengantri tes dengan menunjukkan
nomor antrian. Aku pun segera menghubungi Edi, mengatakan bahwa kami boleh
masuk.
Waktu menunjukkan 14.30 WIB, aku mulai gelisah
karena Edi tak kunjung datang, pesan pun tak kunjung dibalasnya. Peserta hari
itu sudah hampir habis, tes interview tidak lagi dilakukan satu persatu seperti
hari sebelumnya, mungkin karena peminatnya banyak, mereka memanggil 5 orang
sekaligus.
Aku beberapa kali mencari sosok Edi, hingga
muncullah wajahnya di ujung lorong. Aku pun memanggilnya, kemudian berpamitan dan
berterima kasih pada temanku karena telah banyak membantuku. Aku dan Edi pun langsung
masuk ruang tes bersamaan. Sebenarnya kami bisa dibilang urutan terakhir yang
masuk ke ruang interview di hari itu. Karena ketika Edi datang, pesertanya
sudah habis. Tes tak berlangsung lama, tes interview sangat singkat karena kami
ada 5 orang, mungkin HRD nya mulai lelah, tes tulis dengan 20 soal, cukup sulit
untukku yang sudah lama tidak belajar, terakhir kali belajar waktu ujian UKOM 4
bulan yang lalu.
Walk interview hari selesai. Aku bersyukur karena
ada teman pulang, alias nebeng Edi yang membawa mobil. Nggak nyangka Allah
mengirimkan orang-orang yang baik padaku, ditengah kepanikan dan kecerobohan
yang kulakukan. Aku percaya, setiap perjalanan memiliki nilai kehidupan
tersendiri, terlepas manusia itu mau menyadarinya atau tidak.
Abaikan 2 orang dibelakang yang matanya silau. Silau kena matahari ya, bukan karena aku haha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar