Pasien dengan Post KLL
Hari itu adalah salah satu hari dimana progam studi
profesiku berlangsung, ilmu keperawatan adalah bidang kami. Aku dan teman-teman
sekelas praktik profesi di salah satu Rumah Sakit pemerintah Jawa Timur. Bulan
pertama yang membuat hatiku berdetak lebih cepat dari biasanya, karena untuk
pertama kalinya akan praktik selama 6 bulan di Rumah Sakit, sebelumnya kami
memang pernah praktik lapangan, tapi hanya berlangsung sekitar dua minggu saja.
Terlebih di masa praktik yang masih berstatus mahasiswa itu, aku lebih sering
mengekor senior yang ada di lapangan, terlalu ragu melakukan tindakan langsung,
tapi tidak untuk kali ini, kami harus bisa lebih profesional, bukan lagi
mahasiswa bermental abal-abal.
Pagi itu cukup sibuk di Departemen yang aku dan
kelompokku tempati, kami mendapat Departemen Keperawatan Medikal Bedah, dimana
pasien dengan berbagai penyakit ada disini. Pagi itu aku mendapat bagian
observasi TTV (tanda-tanda vital : tensi, cek suhu, nadi) di ruangan ortopedi.
Aku mengecek satu-persatu pasien ruangan itu, hingga sampailah pada salah satu
pasien, seorang ibu post kecelakaan lalu lintas.
“Ibu apakah ada keluhan?” tanyaku setelah mengecek
TTV beliau.
“Perut saya kaku Mbak,” jawabnya,
“Apakah sebelumnya sudah BAB dan menyampaikan keluhan
pada dokter?” tanyaku.
“Sudah Mbak,” katanya dengan wajah pucat dan lemah.
“Baik Bu, saya akan segera menyampaikan pada
dokter.” Kataku.
Aku pun kembali menuju kantor perawat, kemudian
menyampaikan pada perawat yang dipasangkan denganku untuk mengatur ruangan
ortopedi shift hari itu. Kemudian perawat tersebut akan menyampaikan pada
dokter yang bertugas memeriksa pasien. Perawat tersebut juga menyampaikan akan
segera kembali mengobservasi pasien.
Beberapa jam kemudian, suami pasien memanggil
perawat karena istrinya mulai berbicara aneh dan tidak bisa nyambung saat diajak
bicara. Aku dan seorang perawat segera menghampiri pasien, memeriksa kembali
TTV.
“Yah, aku udah nggak kuat,” kata ibu tersebut,
tatapannya kosong, aku dan beberapa orang disekitar pasien ikut iba melihatnya.
“Mama kuat kok,” kata suaminya, sembari menangis
disampingnya.
Aku dan beberapa pasien disampingnya tak tega
melihatnya, sembari itu perawat yang bersamaku segera memanggil dokter. Pasien
tersebut memang sudah beberapa hari opname, kondisinya cukup buruk dengan
kondisi patah tulang bagian kaki kiri. Sebelumnya dicurigai perutnya mengalami
trauma dari kecelakaan yang dialaminya, sebelumnya ia bersepeda motor dengan
anak perempuannya, kemudian mereka mengalami kecelakaan, anak perempuannya
sendiri mengalami patah tulang bagian kaki kiri, namun kondisinya lebih baik
dari ibunya.
Beberapa menit kemudian sang ibu tak sadarkan diri,
aku dan seorang perawat mengecek nadinya yang semakin turun. Kemudian seorang
dokter melakukan tindakan pijat jantung (RJP) pada pasien, beberapa kali kami
melakukan pertolongan awal pada henti jantung tapi tidak membuahkan hasil,
hingga akhirnya dokter menyampaikan bahwa sang pasien telah tiada. Sontak
ruangan tersebut ramai, pecah oleh tangisan sang suami, ia menangis disamping
istrinya, dengan berusaha melapangkan hati kedua anaknya yang ada disampingnya.
Beberapa kali sang suami pingsan, sang anak perempuan menangis keras, dan
saudara laki-laki nya yang juga masih kecil sempat mengumpat, marah pada orang
yang menabrak ibunya.
Aku dan beberapa teman juga perawat tak tega
melihatnya. Ingin menangis, tapi kami tidak boleh bersimpati berlebihan,
terkadang tidak mudah menghapadi situasi seperti ini.
Beberapa minggu berlalu, aku dan kelompokku saat itu
ditugaskan di Departemen Poli Ortopedi. Departemen ini tak kalah menarik dari
departemen lainnya, dimana pasien berbagai patah tulang membuat ngilu saat
melihat balutannya dibuka. Hingga seorang pasien masuk ke dalam ruangan, dimana
aku dan temanku yang juga kebetulan satu ruangan di departemen KMB (setiap
pindah departemen anggota kelompok bisa berubah sesuatu kebutuhan perawat) sama-sama
saling memasang wajah terkejut, jantung kami seakan dipompa lebih cepat,
teringat kejadian beberapa minggu lalu di departemen KMB.
Seorang gadis kecil dengan patah tulang pada
kakinya, hari itu dijadwalkan dibuka balutannya. Yups, gadis itu adalah putri
dari pasien yang beberapa minggu lalu meninggal di ruang inap ortopedi. Saat
balutannya akan dirobek dengan mesin perobek, gadis itu mulai ketakutan, ia
menangis disamping ayahnya.
“Ibu, sakit Ibu,” tangisnya.
“Nggak boleh gitu, kemarin kan sudah ngga papa, Ibu sudah
tenang disana, ayo Nak, kamu kuat, ini udah mau sembuh,” hibur ayahnya.
Seketika aku ingin meneteskan air mata detik itu juga, namun hanya bisa menelan
ludah di tenggorokan.
Terkadang kita lupa bersyukur akan keadaan kita,
banyak mengeluh karena tugas yang menumpuk, belum lagi fisik yang dihabiskan
berjam-jam di rumah sakit. Padahal banyak jiwa-jiwa yang bersedih karena lelah
menenangkan hati setelah kehilangan sosok penting dalam hidupnya. Pekerjaan ini
memang menarik dan aku bangga, meski kadang dalam kelelahanku aku ingin lebih
dari sekarang, mengutuk diri sendiri karena kurang bisa menjadi pribadi yang
lebih baik.
Begitulah salah satu kisahku saat praktik di rumah
sakit dulu, sebenarnya terlambat sekali baru menulisnya sekarang, karena sudah
banyak yang kabur dari ingatan. Bukannya saat itu aku nggak ada niatan untuk
menulis cerita-cerita saat profesi Ners, tapi badan ini memang terlalu manja,
beralasan terlalu banyak tugas, diaman fisik maupun mental ditempa
habis-habisan. Tapi aku tidak pernah kesal oleh tugas-tugas itu, karena memang
itu tugasku, bidangku, aku menikmati masa-masa profesiku, yang aku tau dari
awal memulainya, aku akan merindukaannya kembali, seperti sekarang. Btw, saya
sangat menyadari tulisan saya ini acak adul, efek lama nggak nulis, sekalinya
ingin kembali menulis, hasilnya miris. ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar