Minggu, 03 September 2017

Salah Satu Kisah Ners-ku

Pasien dengan Post KLL
Hari itu adalah salah satu hari dimana progam studi profesiku berlangsung, ilmu keperawatan adalah bidang kami. Aku dan teman-teman sekelas praktik profesi di salah satu Rumah Sakit pemerintah Jawa Timur. Bulan pertama yang membuat hatiku berdetak lebih cepat dari biasanya, karena untuk pertama kalinya akan praktik selama 6 bulan di Rumah Sakit, sebelumnya kami memang pernah praktik lapangan, tapi hanya berlangsung sekitar dua minggu saja. Terlebih di masa praktik yang masih berstatus mahasiswa itu, aku lebih sering mengekor senior yang ada di lapangan, terlalu ragu melakukan tindakan langsung, tapi tidak untuk kali ini, kami harus bisa lebih profesional, bukan lagi mahasiswa bermental abal-abal.
Pagi itu cukup sibuk di Departemen yang aku dan kelompokku tempati, kami mendapat Departemen Keperawatan Medikal Bedah, dimana pasien dengan berbagai penyakit ada disini. Pagi itu aku mendapat bagian observasi TTV (tanda-tanda vital : tensi, cek suhu, nadi) di ruangan ortopedi. Aku mengecek satu-persatu pasien ruangan itu, hingga sampailah pada salah satu pasien, seorang ibu post kecelakaan lalu lintas.
“Ibu apakah ada keluhan?” tanyaku setelah mengecek TTV beliau.
“Perut saya kaku Mbak,” jawabnya,
“Apakah sebelumnya sudah BAB dan menyampaikan keluhan pada dokter?” tanyaku.
“Sudah Mbak,” katanya dengan wajah pucat dan lemah.
“Baik Bu, saya akan segera menyampaikan pada dokter.” Kataku.
Aku pun kembali menuju kantor perawat, kemudian menyampaikan pada perawat yang dipasangkan denganku untuk mengatur ruangan ortopedi shift hari itu. Kemudian perawat tersebut akan menyampaikan pada dokter yang bertugas memeriksa pasien. Perawat tersebut juga menyampaikan akan segera kembali mengobservasi pasien.
Beberapa jam kemudian, suami pasien memanggil perawat karena istrinya mulai berbicara aneh dan tidak bisa nyambung saat diajak bicara. Aku dan seorang perawat segera menghampiri pasien, memeriksa kembali TTV.
“Yah, aku udah nggak kuat,” kata ibu tersebut, tatapannya kosong, aku dan beberapa orang disekitar pasien ikut iba melihatnya.
“Mama kuat kok,” kata suaminya, sembari menangis disampingnya.
Aku dan beberapa pasien disampingnya tak tega melihatnya, sembari itu perawat yang bersamaku segera memanggil dokter. Pasien tersebut memang sudah beberapa hari opname, kondisinya cukup buruk dengan kondisi patah tulang bagian kaki kiri. Sebelumnya dicurigai perutnya mengalami trauma dari kecelakaan yang dialaminya, sebelumnya ia bersepeda motor dengan anak perempuannya, kemudian mereka mengalami kecelakaan, anak perempuannya sendiri mengalami patah tulang bagian kaki kiri, namun kondisinya lebih baik dari ibunya.
Beberapa menit kemudian sang ibu tak sadarkan diri, aku dan seorang perawat mengecek nadinya yang semakin turun. Kemudian seorang dokter melakukan tindakan pijat jantung (RJP) pada pasien, beberapa kali kami melakukan pertolongan awal pada henti jantung tapi tidak membuahkan hasil, hingga akhirnya dokter menyampaikan bahwa sang pasien telah tiada. Sontak ruangan tersebut ramai, pecah oleh tangisan sang suami, ia menangis disamping istrinya, dengan berusaha melapangkan hati kedua anaknya yang ada disampingnya. Beberapa kali sang suami pingsan, sang anak perempuan menangis keras, dan saudara laki-laki nya yang juga masih kecil sempat mengumpat, marah pada orang yang menabrak ibunya.
Aku dan beberapa teman juga perawat tak tega melihatnya. Ingin menangis, tapi kami tidak boleh bersimpati berlebihan, terkadang tidak mudah menghapadi situasi seperti ini.
Beberapa minggu berlalu, aku dan kelompokku saat itu ditugaskan di Departemen Poli Ortopedi. Departemen ini tak kalah menarik dari departemen lainnya, dimana pasien berbagai patah tulang membuat ngilu saat melihat balutannya dibuka. Hingga seorang pasien masuk ke dalam ruangan, dimana aku dan temanku yang juga kebetulan satu ruangan di departemen KMB (setiap pindah departemen anggota kelompok bisa berubah sesuatu kebutuhan perawat) sama-sama saling memasang wajah terkejut, jantung kami seakan dipompa lebih cepat, teringat kejadian beberapa minggu lalu di departemen KMB.
Seorang gadis kecil dengan patah tulang pada kakinya, hari itu dijadwalkan dibuka balutannya. Yups, gadis itu adalah putri dari pasien yang beberapa minggu lalu meninggal di ruang inap ortopedi. Saat balutannya akan dirobek dengan mesin perobek, gadis itu mulai ketakutan, ia menangis disamping ayahnya.
“Ibu, sakit Ibu,” tangisnya.
“Nggak boleh gitu, kemarin kan sudah ngga papa, Ibu sudah tenang disana, ayo Nak, kamu kuat, ini udah mau sembuh,” hibur ayahnya. Seketika aku ingin meneteskan air mata detik itu juga, namun hanya bisa menelan ludah di tenggorokan.
Terkadang kita lupa bersyukur akan keadaan kita, banyak mengeluh karena tugas yang menumpuk, belum lagi fisik yang dihabiskan berjam-jam di rumah sakit. Padahal banyak jiwa-jiwa yang bersedih karena lelah menenangkan hati setelah kehilangan sosok penting dalam hidupnya. Pekerjaan ini memang menarik dan aku bangga, meski kadang dalam kelelahanku aku ingin lebih dari sekarang, mengutuk diri sendiri karena kurang bisa menjadi pribadi yang lebih baik.

Begitulah salah satu kisahku saat praktik di rumah sakit dulu, sebenarnya terlambat sekali baru menulisnya sekarang, karena sudah banyak yang kabur dari ingatan. Bukannya saat itu aku nggak ada niatan untuk menulis cerita-cerita saat profesi Ners, tapi badan ini memang terlalu manja, beralasan terlalu banyak tugas, diaman fisik maupun mental ditempa habis-habisan. Tapi aku tidak pernah kesal oleh tugas-tugas itu, karena memang itu tugasku, bidangku, aku menikmati masa-masa profesiku, yang aku tau dari awal memulainya, aku akan merindukaannya kembali, seperti sekarang. Btw, saya sangat menyadari tulisan saya ini acak adul, efek lama nggak nulis, sekalinya ingin kembali menulis, hasilnya miris. ^_^


Tidak ada komentar:

Posting Komentar